Mengandalkan pertumbuhan dengan utang, mengandaikan Indonesia di tangan Jokowi seperti anak haram ekonomi neolib. Menciptakan ketergantungan pada modal asing dengan dalih investasi swasta.
Negara dan rakyat Indonesia bakal dilempar ke tepi mulut neolib. Tinggal ditelan bulat-bulat. Dengan dalih investasi juga, sektor-sektor vital publik akan dikuasai asing. Jalan, irigasi dan beberapa infrastruktur dasar kita akan dikuasai asing. Di tangan Jokowi, Indonesia benar-benar hebat!
Kamis 4 Desember 2014, ekonom World Bank Ndiame Diop mengkritik habis kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi. Diop heran, kalau Jokowi mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan modal menciptakan utang baru! Itu pun menurut Diop, belum tentu dengan investasi asing yang tambun, bisa mendorong pertumbuhan.
Alih-alih pertumbuhan bisa terpacu, dengan foreign direct investmen (FDI) yang terus mengalir, FDI justru menjerat Indonesia dalam dilema impor dan utang luar negeri yang tak berkesudahan.
Lebih lanjut menurut Diop, dalam kalkulasi World Bank, dengan target tambahan investasi langsung (foreign direct investmen/FDI) oleh pemerintahan Jokowi sebesar 15% pada 2015, akan menambah beban impor senilai US$ 2 miliar atau Rp 24,6 triliun. Peningkatan impor ini kelak akan menekan surplus ekspor yang berimplikasi pada pembengkakan defisit neraca perdagangan.
Menurut catatan World Bank, pelemahan rupiah hingga Rp 12,300 per USD saat ini, tak berpengaruh signifikan terhadap ekspor. Apalagi, harga komoditas yang tergerus sekitar 20% akibat pelemahan permintaan konsumen utama (Cina dan Jepang).
Selain mengerek impor, besarnya FDI juga meningkatkan utang luar negeri (ULN) menjadi 60-70%. Kenaikan ULN juga akan mengerek defisit transaksi pendapatan primer. Menurut data Bank Indonesia (BI), per akhir semester 2014, ULN RI naik 11,2% atau menjadi US$ 292,3 miliar dengan debt to service ratio 46,16%. DSR Indonesia naik sebesar 3,43% dari tahun 2013 42,73% (catatan: Jika DSR semakin besar, maka beban utang luar negeri semakin berat dan serius).
Sebagai catatan kita, dalam postur RAPBN 2015, defisit anggaran tercatat mencapai 2,32 persen terhadap PDB. Nilai ini hampir menyentuh batas atas defisit sesuai UU, yakni 3 persen. Sumber pembiayaan defisit dari utang secara nominal mengalami peningkatan dari Rp 253,7 triliun di APBN 2014 menjadi Rp 282,7 triliun dalam RAPBN 2015
Membengkaknya pembiayaan negara dari utang terjadi karena banyak faktor. terutama pendapatan pajak. Selain ini, nominal utang juga terus membesar karena beban pembayaran cicilan pokok dan bunga utang. Tahun 2014 saja, pemerintah menetapkan pagu pembayaran cicilan pokok Rp 247,7 triliun dan bunga Rp 121,3 triliun.
Sebelum kritikan World Bank terhadap arah kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi, Direktur BI Agus Martowardoyo pun mengingatkan pemerintahan Jokowi, agar FDI yang masuk ke Indonesia harus diarahkan pada manufaktur berorientasi ekspor. Namun apa lacur, pemerintah masa bodoh dan membiarkan investasi yang berorientasi domestik terus mengalir.
BPS mencatat, hingga bulan oktober 2014, defisit neraca perdagangan masih minus US$ 1,65 miliar. Angka defisit neraca perdagangan ini akan berpotensi terus meningkat, seiring kebijakan ekonomi di awal pemerintahan Jokowi, yang belum begitu kuat meng-endorse surplus ekspor. Arah kebijakannya cak adul, hantam kromo dan sarat pencitraan. Hadehhhh!
Bagaimana menurut kalian??? Negara udah terbelit hutang jangan sampai suatua saat beneran terjadi indonesia menuju negara gagal. para pemerintah harap mencari cara bagaiman agar utang indonesia bisa di tutup. entah bagaimanapun caranya indonesia harus berani.