
Ini dia berita tentang ditjen Pengelolaan Guru versi Kompasiana.
Antiklimaks, babak peredaman sedang dilakukan Anies Baswedan, Mendikbud era Jokowi ini. Bagi pelaku pendidikan, naga-naganya, hentakan menteri yang satu ini terlihat tanggap dan tepat waktu. Komulasi permasalahan pendidikan yang selama ini sering diselingi aroma politis, mencoba untuk ditarik (sebisanya) pada realitas permasalahan pendidikan yang sebenarnya.
Baru saja pak Menteri “mengistiahatkan” gelora K.13 yang sudah sebegitu meriahnya di tingkat bawah. Tanggap, mungkin karena faham “kadar bisul” dari penerapan kurikulum yang terheboh ini. Tepat waktu, sejatinya pak Anies sedang mengobrak-abrik perilaku yang tersembunyi di setiap pergantian kurikulum. Sebagai ilustrasi saja, Desember 2013 saya di datangi sebuah penerbit. Dalam audiensi awal dijelaskan jika penerbit ini memenangkan tender pembuatan buku wajib siswa untuk beberapa mata pelajaran. Saya diharapkan untuk mau bergabung dalam tim penyusunan buku dari penerbit ini sesuai mapel yang saya ampu. Nilai tender tidak disampaikan, tetapi janji reward sampai pada kalkulasi royalti tergambar di mata. Besar sekali! Akhir cerita, saya menolak karena di atas tim penyusun ini ada “posisi aneh”, yaitu tim ahli yang terdiri dari beberapa guru senior dan orang dinas pendidikan. Penolakan saya sepele, guru senior yang dimaksud hanya faham tentang K.13 (karena selalu ditunjuk oleh dinas pendidikan untuk mengikuti pelatihan dan beda mapel dengan saya, bisa jadi –rumornya- memang dekat dengan beberapa teras orang dinas). Tentu ini berimplikasi pada “wibawa” buku dan harga diri mapel saya. Lebih aneh lagi, apa korelasinya dengan orang-orang dinas? (Uraian ini sejujurnya terjadi dari beberapa audiensi saya dengan perwakilan penerbit itu untuk wilayah Jatim).
- 13 batal sementara diterapkan, tanpa ada kepastian kapan waktu sementaranya itu. Sisi pengadaan buku ini memang salah satu “selilit” yang cukup mengganggu penerapan kurikulum terbaru ini. Nyata terbukti, sering muncul reportase aduan dari berbagai daerah akan keganjilan-keganjilan dari konten buku wajib siswa yang telah didistribusikan ke sekolah-sekolah. Sekarang, carutnya K.13 ini sedang dikaji untuk dibenahi, hasilnya bagaimana, sepenuhnya tergantung keluasan perevisi melihat gejala yang telah ada selama ini.
Belum reda heboh penghentian sementara pelaksanaan K.13 ini, muncul lagi gairah inovasi baru, yaitu rencana dibentuknya Ditjen Pengelolaan Guru. Saya yakin tema ini tidak seheboh penghentian sementara itu. Apa pasal, setidaknya ada tiga sebab : 1) nilai anggaran yang dibutuhkan tidak terlalu signifikan seperti gelontoan program K.13, 2) terlalu sempitnya garapan yang akan menjadi wewenang kerja ditjen ini, dan 3) (ini agak spekulatif) karena inisiatif terbentuknya ditjen ini dari pemerintahan yang sedang berkusa, sehingga kualat kalau harus diramaikan, apalagi dikritisi.
Bagi saya, Justru rencana pembentukan inilah yang lebih spektakuler dibandingkan penghentian sementara itu. Mengapa? Di sinilah indikasi kekuatan mata ilmu sang menteri dalam menatap eksistensi pendidikan masih terjaga. Teringat betapa berbunganya hati ketika wawancara pertama pak Anies tegas mengatakan akan fokus pada mutu guru. Lima kali pergantian kekuasaan, baru yang ke enam menterinya bicara tentang titik inti masalah pendidikan negeri. Jika kita merunut sejarah pendidikan, justru masa pra orbalah guru berada pada keemasan profesi. Jangan bicara tentang reward saat itu, karena bapak saya (yang juga guru) harus nyambi kuli unduh kelapa. Jangan pula bicara fasilitas, karena tidak ada sekolah yang timpang fasilitas seperti sekarang. Jangan bicara output, nyatanya orang-orang besar dengan jiwa besar tercipta di masa itu! Keemasan profesi yang dilihat dari kesejatian profesi sebagai pendidik, itulah maksudnya.
Jika sekarang berada diperingkat 40 dari 40 negara, terlalu sederhana jika yang disalahkan adalah keterbatasan fasilitas, apalagi ketertinggalan metode dalam pembelajaran, apalagi kurikulumnya. Peringkat 40 itu tidak akan terlalu merana jika kualitas dan totalitas kerja pekerja pendidikan berada dalam titik puncak gairah yang sebenarnya. Ramai dan merana karena ada yang melihat pelaku-pelaku pendidikan bergerak setengah hati.
Memberikan titik tekan pada sisi guru, akan menuai banyak rintangan. Arief Rahman mengatakan, guru jangan hanya menjadi pendidik, jadilah pula sebagai pembimbing dan teladan. Beberapa pakar mengatakan, butuh waktu satu generasi untuk merubah mindset guru agar lebih menjiwai profesinya. Bahkan pak Menteri sendiri mahfum jika sejatinya kehebatan pendidikan itu terletak pada guru. Transfer ilmu itu adalah bagian kecil dari keberhasilan, dan nilainya lebih berat pada angka-angka akademik. Tetapi menjadikan guru sebagai teman untuk berinspirasi dan mencipta dengan segala kekuatan yang dimiliki guru itu, itulah yang gersang sekarang. Ketika terkabar maraknya tawuran, wajar saja jika disalahkan ekses perubahan jaman atau keringnya keteladanan pemimpin bangsa. Tetapi akan lebih mengena jika yang tersentuh dulu adalah peran guru dalam memfilter “jahatnya” dunia luar itu. Bagaimana dengan peran keluarga? Sepele jawabnya, tidak ada orang tua yang anaknya diasupi perilaku yang kurang baik.
Memberikan fokus ke guru apakah berarti menyalahkan atau malah memanjakan dengan reward? Kayaknya, kalau saya lihat, tidak demikian nuansa berpikir pak Menteri kita ini. Konsekwensi reward dan punishmen sudah cukup sempurna di era SBY, saya berharap lebih sempurna lagi di era Jokowi ini. Saya berharap fokus pak Menteri pada guru ini lebih pada gerakan percepatan untuk merubah skill (seni mengajar) dan mindset guru. Jika toh dalam biasnya nanti harus menyentuh reward dan punishmen maka itu sudah seharusnya dilakukan pemerintah sebagai regulator. Menata, melakukan, dan mengevaluasi secara berkesinambungan agar segera terjadi pergerakan yang cepat itulah yang perlu ada titik tekan tersendiri untuk guru.
Biarlah guru lalu terombang-ambing, terkungkung, bahkan bersembunyi (dengan leyeh-leyeh). Tidak perlu terlalu digemborkan siapa yang salah. Kalau sekarang ada semangat baru dari pak Menteri untuk lebih mengasah kemampuan guru (lahir dan batin) ini merupakan terobosan beliau karena sudah faham dengan isi dalam guru. Maksudnya, jangan lagi ada prematurisasi program yang sejatinya membingungkan guru, jangan lagi ada penggiringan-penggiringan, bebaskan guru dengan keluasan kesempatan memperkuat kemampuan dengan tidak dibebani beban non mengajar yang berlebihan.
Semoga rencana pembentukan ditjen khusus guru ini menjadi energi baru bagi profesi ini. Biarlah ada yang mengatakan butuh satu generasi untuk mencipta guru yang profesional. Saya yakin, jika toh sekarang benang itu basah, masih ada brillianitas inovasi untuk bisa menegakkannya. Bagaimana caranya? Saya tidak ingin menggarami lautan, karena negeri ini yang dibutuhkan adalah kesungguhan menatap fokus bidikan tanpa harus diberi rumbai-rumbai agar terlihat meriah, apalagi dikeroyok agar tetap jumawa. Hanya butuh itu, bisakah? (Sambil tersenyum manis, saya akan mengatakan : “Saya siap membantu, Pak, walau hanya di desa saja…”).
Mari kita tunggu bersama, InsyaAllah.
Menyukai ini:
Suka Memuat...